Survei Charta Politika: PDI-P Masih Unggul di Jatim dan Lampung, Gerindra di Jabar

JAKARTA, KOMPAS.com – Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDIP) masih unggul di Provinsi Jawa Timur dan Lampung berdasarkan hasil survei terbaru Charta Politika Indonesia. Sementara itu Partai Gerindra tetap meraja di Provinsi Jawa Barat.

Charta Politika melakukan “Survei Preferensi Sosial dan Politik Masyarakat Tahun 2022” di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, dan Lampung yang dirilis pada Rabu (16/3/2022). Salah satunya terkait dengan elektabilitas partai politik.

Survei ini dilakukan di Provinsi Lampung pada 27 Januari-2 Februari 2020. Sementara di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Jawa Timur, survei digelar pada 3-9 Februari 2022.

Survei melalui wawancara tatap muka secara langsung dengan menggunakan kuesioner terstruktur dengan protokol kesehatan yang ketat.

Metodologi yang digunakan adalah metode acak bertingkat (multistage random sampling) pada tingkat kepercayaan 95%.

Margin of error untuk survei di Jawa Timur sebesar +/- 2.82%. Lalu di Lampung +/- 3.46%, dan di Jawa Barat +/- 2.83%.

Pada Pileg 2019, partai politik pemenang pemilu di Lampung adalah PDI-P. Kemudian disusul oleh Partai Demokrat dan Golkar.

Namun berdasarkan survei Charta Politika ini, Demokrat kini turun cukup signifikan di Lampung. Demokrat kini berada di posisi ke-4 pilihan responden, dikalahkan oleh Partai Gerindra dan Partai Golkar.

Sementara itu, partai yang unggul di Jawa Timur masih sama dengan hasil Pileg 2019 untuk posisi pertama hingga ketiga. PDI-P berada di urutan teratas, lalu disusul PKB dan Gerindra.

PDI-P bisa mempertahankan menjadi partai paling unggul di Jatim, setelah berhasil mengalahkan PKB yang menjadi pemenang di Pemilu 2014.

Sama seperti Jatim, urutan elektabilitas parpol di Jawa Barat belum berubah. Gerindra tetap mendapat suara terbanyak, lalu di posisi kedua dan ketiga adalah PDI-P dan PKS.

Berikut rincian hasil survei elektabilitas partai politik:

Lampung
PDI-P: 29,8%
Gerindra: 16,6%
Golkar: 10,3%
Demokrat: 4,5%
PKS: 4,5%
PKB: 4,1%
NasDem: 2,9%
PAN: 1%
PPP: 1%
Perindo: 0,6%
Hanura: 0,4%
PKPI: 0,1%
Garuda: 0,1%
TT/TJ: 24,1%

Jawa Timur
PDI-P: 28,5%
PKB: 25%
Gerindra: 9,8%
Golkar: 5%
Demokrat: 3,4%
PPP: 3,2%
NasDem: 2,7%
PAN: 2,1%
PKS: 0,8%
PBB: 0,3%
PKPI: 0,1%
Hanura: 0,1%
TT/TJ: 18,8%

Jawa Barat
Gerindra: 21,3%
PDI-P: 18,2%
PKS: 9,1%
Golkar: 9%
PKB: 6,2%
Demokrat: 4,3%
NasDem: 2,7%
PPP: 2,1%
PAN: 1,7%
Perindo: 1%
Hanura: 0,7%
Garuda: 0,7%
PBB: 0,4%
Gelora: 0,3%
PSI: 0,2%
Partai Ummat: 0,1%
Berkarya: 0,1%
TT/TJ: 22,1%

Penulis : Elza Astari Retaduari
Editor : Elza Astari Retaduari
Sumber : Kompas.com
Foto : KOMPAS.com/KRISTIAN ERDIANTO

Rilis Survei Preferensi Sosial dan Politik Masyarakat di Provinsi Lampung, Jawa Barat dan Jawa Timur Tahun 2022

Rilis Survei Charta Politika Indonesia kali ini mencoba membaca perilaku dan pilihan masyarakat terkait :
1. Kepuasan publik terhadap kinerja Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi
2. Pengetahuan Pelaksanaan Pemilu 2024 dan Wacana Penundaan Pemilu
3. Elektabilitas pemilihan Gubernur, Presiden dan Partai Politik.

Survei di Provinsi Lampung dilakukan pada tanggal 27 Januari – 2 Februari 2022, Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Jawa Timur pada tanggal 3 – 9 Februari 2022.

Survei dilakukan melalui wawancara tatap muka secara langsung dengan menggunakan kuesioner terstruktur dengan protokol kesehatan yang ketat. Metodologi yang digunakan adalah metode acak bertingkat (multistage random sampling) pada tingkat kepercayaan 95%.

Klik tautan untuk mengunduh:

202203_Rilis Survei Jawa Timur_

202203_Rilis Survei Jawa Barat_

202203_Rilis Survei Lampung_

Evaluasi Kritis DPR dan Partai Politik

Dalam catatan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), tidak ada prestasi menonjol dari kinerja legislasi DPR pada Masa Sidang III Tahun Sidang 2021-2022 lalu. Pasalnya, selama masa sidang tersebut, DPR hanya menuntaskan dua rancangan undang-undang yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas, meski ada tujuh RUU kumulatif terbuka yang disahkan menjadi undang-undang.

Jauh sebelum sorotan Formappi itu, potret buram penghuni lembaga parlemen, khususnya di masa pandemi bukan cerita baru. Masih segar dalam ingatan kita, keganjilan sejumlah politikus Senayan yang meminta fasilitas hotel berbintang untuk isolasi mandiri. Sementara mayoritas rakyat dibiarkan merana, sudah kena Covid-19, tertimpa krisis ekonomi pula.

Sederet aib politik juga terjadi di parlemen lokal. Sebut saja kehebohan DPRD yang menganggarkan sekitar Rp 1,1 miliar untuk pembelian atribut dan pakaian dinas. Di tempat lain, ada pula rencana pengadaan baju dinas anggota DPRD bermerek Louis Vuitton seharga Rp 675 juta. Ulah politisi itu tentu mencoreng citra lembaga perwakilan.

Evaluasi kritis dan kontrol rakyat terhadap DPR/DPRD tentu sangat wajar, sebab eksistensi anggota parlemen berangkat dari mandat rakyat, makanya dinamakan “Wakil Rakyat”. Itulah yang menjelaskan betapa kebuntuan demokrasi agak tertolong berkat kekuatan opini media sosial yang digalang masyarakat sipil, terutama kelas menengah terdidik.

Tindakan pejabat yang lupa akan esensi sebagai wakil rakyat, tentu saja melukai rasa keadilan sosial. John Rawls (1995) dalam A Theory of Justice telah mengingatkan bahwa keadilan sebagai sebuah kejujuran (justice as fairness). Rakyat kecil mesti diprioritaskan dalam distribusi kekayaan (resources). Keadilan berdasar atas kedalaman moral-etik (reasonable) yang melampaui akal budi praktis-instrumental orang per orang (instrumental rationality).

Antipati publik akan mengemuka bila politikus terkesan hanya datang kepada rakyat saat lapar kekuasaan, namun konstituen terlupakan. Dinamika berdemokrasi yang terlampaui standar, lantas menelurkan semata kebisingan politik (political noise) daripada suara rakyat (political voice). Jika publik diibaratkan sebagai dokter, maka kita tetap senantiasa menginjeksi kritikan keras kepada elite agar kekuasaan dibingkai dengan moral. Dennis F Thompson (1987) dalam Political Ethics and Public Office senantiasa mengingatkan urgensi etika dalam politik.

Untuk menghukum politisi yang terkesan bekerja part-time, publik berkewajiban menggugat mereka, baik sanksi moral maupun politik. Dalam konteks ini, sanksi politik tentu mengikuti mekanisme demokratis dan konstitusional. Memang demokrasi butuh kesabaran revolusioner, menanti sesuatu antara kecewa dan harapan.

Kebebasan sebagai berkah reformasi yang diaksentuasi dalam partisipasi politik hendaknya berjalan paralel dengan terbukanya akses keadilan. Sejurus itu, parpol sebagai sarana rekrutmen pejabat publik harus direformasi dari sisi kelembagaan, kesisteman, aktor, dan budaya politik. Kaderisasi berjenjang, rekrutmen dan seleksi kandidat, serta pakta integritas patut direvitalisasi untuk mencetak politisi bermutu dan berkompeten. Larry Diamond dan Richard Gunther (2001) sudah jelas mengatakan, agar parpol merekrut kader berkualitas.

Saat yang sama, parpol sejatinya berfungsi merekatkan sumbu kepentingan rakyat dengan pejabat publik. Kesempitan hidup pada masa pandemi saatnya menjadi kesempatan untuk mengartikulasikan hajat rakyat secara azali. Kita menaruh harapan kepada parpol untuk mereformasi diri agar lebih fungsional. Parpol yang reformis akan berbanding lurus dengan membaiknya performa DPR.

Di sisi lain, setiap jajak pendapat yang digelar hampir semua lembaga survei, kepercayaan publik kepada parpol acapkali bertengger di titik nadir. Maka tak heran, identifikasi kemelekatan pemilih terhadap tokoh (figure ID) jauh lebih kuat daripada identitas partai (party ID). Meski begitu, prasangka overdosis kepada parpol, DPR, apalagi anti-demokrasi, jelas kekeliruan berpikir dan kesia-siaan belaka.

Parpol menciptakan demokrasi modern dan demokrasi modern tidak dapat terbayangkan tanpa keterkaitannya dengan partai. (Elmer E. Schattsscheneider, 1942). Demokrasi secara alami menghendaki adanya lembaga perwakilan. (Robert Dahl, 1989). Maka pilihannya adalah bagaimana membenahi wajah parpol agar tidak menjadi benalu demokrasi.

Richard Katz dan Peter Mair (1994) membagi tiga wajah parpol, yaitu: party on the ground (partai di tataran akar rumput); party in central office (partai dalam arti lembaga/organisasi pusat); party in public office (partai dalam bentuk utusan yang menduduki posisi di lembaga pemerintahan dan parlemen).

Di tataran akar rumput, kader organisasi partai mesti mendengar nada arus bawah yang bernada getir. Baik buruknya wajah parpol tergantung seberapa jauh kepedulian anggota dan kadernya menjawab kebutuhan masyarakat. Penampakan kader di ruang publik harus menunjukkan keteladanan, berciri artikulatif, sembari menjalankan pendidikan politik.  

Begitu pula kader yang menjadi perwakilan partai di lembaga pemerintahan dan parlemen selaiknya bersikap negarawan. Jangan sampai tersandera oleh jebakan oligarkis, terlebih untuk perburuan rente semata. Secara totalitas, pejabat pemerintahan, terutama di jajaran kabinet dan parlemen hendaknya menjadi problem solver (bukan problem maker). 

Bila revolusi mental ditransformasikan ke dalam perilaku internal organisasi partai, mentalitas diubah dari gaya dilayani menjadi pelayan. Tuna rasa beralih ke agenda-kerja politik solidaritas bela rasa. Kebiasaan bertindak sensasional berganti ke politik substantif untuk meletakkan kemanusiaan sebagai agenda teleologis berdemokrasi. Jika belum berubah juga, maka sungguh astaga!

Demokrasi senantiasa menawarkan harapan di tengah kompleksitas kekinian dan kedisinian. Pemilu secara periodik adalah manifestasi kedaulatan rakyat untuk menyalakan politik harapan agar citra DPR dan parpol terangkat. Rakyat sungguh berdaulat untuk mengangkat ataupun menyingkirkan utusannya di lembaga perwakilan.

Dus, mari kita perbanyak kader politik andalan yang benar-benar kapabel dan berintegritas. Publik mesti mencatat dan menandai jejak rekam politikus, siapa yang bekerja part-time dan siapa yang berkomitmen full-time untuk bangsa dan negara berdasarkan indikator yang terukur. Ketika pemilu tiba, di situlah pengadilan rakyat bekerja, siapa yang didepak dan siapa yang diberi mandat. Selamat berhati-hati.

Mawardin,
Peneliti Charta Politika Indonesia
Sumber: Kumparan, 14 Maret 2022 (https://bit.ly/3MSXaJW)
Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan