E-Voting di Pemilu 2024, Yunarto Wijaya: Bisakah Lebih Mudah dan Murah?

MENTERI Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Jhonny G Plate mengusulkan pemungutan suara Pemilu 2024 dilakukan secara e-voting. Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya, mengatakan usulan itu bisa terpenuhi asalkan KPU telah melalui beberapa prasyarat.

Yang pertama, kata Yunarto, e-voting pemilu 2024 harus dipastikan tidak melanggar hukum prinsip pemilu. Artinya, kerahasiaan data jharus dijaga.

“Jangan sampai membuat adanya potensi kecurangan menjadi lebih terjadi dan apakah perangkat infrastruktur nya sudah siap atau tidak?,” ungkap Yunarto kepada Media Indonesia, Minggu (27/3),

Kemudian, Yunarto menegaskan dengan adanya e-voting jangan sampai partisipasi masyarakat menurun lantaran ketidaksiapan infrastruktur dan sistim e-voting.

“Terakhir, harus dipastikan juga e-voting ini tujuan awalnya untuk membuat pemilu lebih mudah dan murah. Apakah bisa dipastikan bisa lebih murah dan mudah? Niatnya bisa mengecilkan logistik, apakah bisa?,” tegasnya.

“Jika 3 syarat ini blm terpenuhi, artinya belum saatnya kita melakukan pemilu e-voting,” tambahnya.

Yunarto pun membeberkan sejauh ini belum ada pihak yang melakukan riset terkait e-voting pada pemilu di Indonesia. Soal internet di Tanah Air sendiri yang belum merata, tentu bakal jadi kendala.

“Saya berharap ide ini ketika digulirkan disertai riset dan simulasi dan hitung-hitungan yang menjelaskan bahwa ini akan memudahkan dan lebih mudah,” harapnya.

Yunarto pun mengusulkan agar sistim e-voting ini segera dibuatkan payung hukum yang kuat. Sejauh ini, kata Yunarto, baru ada penjelasaan mengenai sirekap atau penghitungan oleh elektronik bukan pemilihan secara elektronik.

(OL-6)
sumber : Mediaindonesia.com
foto : MI/TOSIANI

Memastikan Perhelatan Pemilu 2024

Era pandemi memang belum berakhir total. Tetapi situasi terkini, Indonesia sedang memasuki masa transisi dari pandemi ke endemi. Kondisi faktual Covid-19 yang relatif terkendali berarti hajatan Pemilu 2024 harus tetap digelar sesuai mandat konstitusi.

Pengalaman Pilkada 2020 lalu menjadi acuan untuk memproyeksikan Pemilu 2024 sesuai kompleksitas tantangan mutakhir. Tak ada yang menyangka, tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada 2020 tergolong signifikan, bahkan melampaui partisipasi Pilkada 2015. Padahal, gempuran kasus harian Covid-19 sedang melonjak naik saat itu.

Pilkada Serentak 2020 merefleksikan bahwa keberlanjutan estafet kepemimpinan daerah tetap berputar normal (di tengah pandemi Covid-19) melalui mekanisme yang demokratis dan konstitusional. Bahwa ada kelemahan dalam praktiknya di lapangan, tidak berarti menegasikan seluruh unsur positif dalam “pandemokrasi” (demokrasi masa pandemi).

Preseden politik itu sebagai cermin bahwa dalih segelintir elite yang mengusulkan tunda Pemilu 2024 atas nama Covid-19 maupun alasan ekonomi kurang sahih. Yang utama, protokol kesehatan diberlakukan secara ketat. Keselamatan publik diutamakan. Praktisnya, lapangan kerja baru justru akan terbuka lebar melalui rangkaian aktivitas kepemiluan.

Secara fundamental, penyelenggaraan Pemilu bukan hanya sekadar manifestasi kedaulatan rakyat, tetapi juga harus menjamin kesehatan publik, kesejahteraan masyarakat dan keamanan seluruh warga negara. Oleh karena itu, kran kasak-kusuk penundaan Pemilu seyogianya ditutup agar terhindar dari turbulensi dan polarisasi. Di sini meniscayakan kesadaran elite politik dan organisasi sosietal agar menjaga prinsip-prinsip demokrasi dan konstitusi.

Lebih daripada itu, kita mesti mendengar aspirasi rakyat sebagai rukun utama dalam ritual berdemokrasi. Tatkala sejumlah pejabat publik mengedarkan opini, bahwa gagasan penundaan Pemilu didasari oleh kemauan warga, patut dikuantifikasi. Untuk menguji klaim itu, kita perlu mengukur suara opini publik secara saintifik, juga dapat dipertanggung jawabkan secara metodologis. Kesenjangan naratif antara elite dan publik mesti dijembatani melalui jajak pendapat.

Sebagaimana diketahui, wacana penundaan Pemilu maupun perpanjangan masa jabatan presiden pernah terdengar sebelumnya (akhir 2019, awal 2021). Terhadap daur ulang wacana itu, hasil survei Indikator Politik (6–11 Desember 2021) menemukan mayoritas responden mengatakan pergantian kepemimpinan melalui Pemilu 2024 harus tetap dilaksanakan meski masih dalam situasi pandemi.

Hasil survei Charta Politika (29 November – 6 Desember 2021) juga menemukan, sebagian besar responden menyatakan tidak setuju dengan isu penundaan Pemilu 2024 menjadi 2027. Data survei Charta Politika (2022) pun menunjukkan mayoritas masyarakat menginginkan pemilu tetap digelar pada 2024.

Dalam rilis Lembaga Survei Indonesia (LSI) bertajuk “Sikap Publik terhadap Penundaan Pemilu dan Masa Jabatan Presiden” (waktu survei 25 Februari – 1 Maret 2022), bahwa di kalangan warga yang mementingkan demokrasi, penolakan terhadap penundaan Pemilu lebih tinggi. Di kalangan yang mementingkan ekonomi sekalipun, mayoritas menolak Pemilu ditunda.

Berdasarkan temuan LSI itu, penundaan Pemilu ditolak oleh mayoritas warga, khususnya yang tahu dengan wacana tersebut. Mayoritas menolak usulan ini meskipun karena alasan ekonomi, pandemi Covid-19, atau pemindahan ibukota. Menurut mayoritas warga, masa jabatan Presiden Jokowi harus berakhir pada 2024 sesuai konstitusi.

Pencetus tunda Pemilu yang berposisi diametrikal dengan aspirasi publik, bukan hanya riskan, tetapi juga kontraproduktif bagi agenda konsolidasi demokrasi. Ketika PDI-P sebagai partai utama pendukung pemerintah menentang gagasan tunda Pemilu, tentu saja melegakan. Presiden Jokowi juga telah berulang kali menolak ide kontroversial yang masih menggelinding itu.

Dalam konteks peta politik di DPR RI, partai pendukung tunda Pemilu 2024 (PKB, PAN, Partai Golkar) masih kalah jauh jumlah kursinya, dibanding kubu yang menolak penundaan Pemilu (PDI-P, Partai Gerindra, Partai NasDem, PKS, Partai Demokrat, PPP). Peliknya, isu penundaan Pemilu itu acapkali berkumandang dari momen ke momen.

Dus, sikap partai-partai penghuni Senayan, baik yang pro maupun kontra penundaan Pemilu, bisa dikatakan “sementara”. Sebab, kita tidak tahu persis ujung kisahnya nanti. Kalau mau aman bagi PKB, PAN, dan Golkar, agar terhindar dari stigma minor, lebih baik “ijtihad politik” sebelumnya ditinjau ulang. Begitu juga PDI-P, Gerindra, NasDem, PKS, Demokrat dan PPP, agar tetap konsisten dengan sikapnya.

Masalahnya, jika jadwal Pemilu 2024 diundur, maka pejabat eksekutif dan legislatif akan ditambah durasi kekuasaannya. Konsekuensinya, hak-hak politik warga untuk memilih dan dipilih sesuai kalender politik akan mengalami reduksi dan terbonsaikan. Karena itu, kekuatan prodemokrasi mesti menjadi agensi moral dan katalisator wacana publik untuk memastikan perhelatan Pemilu 2024.

Dalam konstelasi politik teranyar, pemerintah, DPR dan KPU sudah menegaskan bahwa Pemilu akan dilaksanakan pada tanggal 14 Februari 2024. Pernyataan Ketua DPR Puan Maharani belakangan ini yang memastikan perhelatan Pemilu 2024 tentu layak diapresiasi. Sikap Puan Maharani segendang sepenarian dengan suara sebagian besar masyarakat. Inilah momentum bagi DPR secara institusional untuk meraih kembali kepercayaan publik (public trust).

Di sisi lain, ada anggapan yang bergulir bahwa mungkin saja akrobat politik parlemen berubah seketika, manakala tergalang lobi-lobi senyap di belakang layar. Kendati hampir mustahil terjadi penundaan Pemilu 2024, mengingat resistensi publik yang terus menggumpal. Meski begitu, drama politik tetap saja diprasangkai belum berakhir.

Dengan demikian, demi performansi wajah parlemen, pilihan yang surplus faedah dan minus mudharat, yakni ikuti kehendak rakyat. Taati konstitusi, patuhi proses demokrasi elektoral secara regular dan periodik. Dengan sendirinya lembaga perwakilan itu dapat memperoleh kredit poin yang positif dari masyarakat. Begitu juga pemerintah, agar sekiranya mengeluarkan pernyataan resmi yang tegas, supaya kontroversi dan polemik sebulan terakhir ini tidak berlarut-larut.

Seturut itu, sinergi antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mengatasi pandemi dan memulihkan ekonomi harus tetap menjadi titik fokus. Semua elite bangsa, parpol, dan masyarakat harus memastikan (bukan sikap sementara lagi), bahwa Pemilu tetap diselenggarakan pada 2024. Dan, menunda hanyalah perkara kesia-siaan belaka. Titik!

Mawardin,
peneliti Charta Politika Indonesia
Sumber: Kumparan, 23 Maret 2022
Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan

Mengakhiri Gaduh Tunda Pemilu

Meskipun gelombang Omicron masih menerjang Korea Selatan, pemilihan umum presiden negara itu tetap terselenggara pada Maret 2022. Hasilnya, calon presiden dari Partai Kekuatan Rakyat yang notabene oposisi-konservatif, Yoon Suk-yeol, mengalahkan pesaingnya yang berhaluan liberal, yaitu Lee Jae-myun dari Partai Demokrat yang berkuasa.

Di tengah kecemasan mondial akibat Covid-19, alih-alih menunda pelaksanaan Pemilu, justru Korea Selatan berhasil menggelar suksesi kepemimpinan nasional. Plus dan minusnya tentu menyertai proses sirkulasi elite kekuasaan itu. Pesta demokrasi dalam situasi normal saja mengandung kealpaan, apalagi dalam konteks ‘new normal’.

Dengan demikian, bukan berarti pandemi Covid-19 kemudian diletakkan sebagai faktor penghalang Pemilu. Itulah potret untuk mengurai kegaduhan politik Indonesia termutakhir seputar wacana penundaan pemilu. Gagasan kontroversial itu diusulkan oleh sejumlah ketua umum partai politik yang sudah jelas jejak digitalnya.

Mereka melontarkan sederet dalih, mulai dari pemulihan ekonomi akibat pandemi, besarnya biaya Pemilu hingga eskalasi konflik antara Rusia versus Ukraina. Kalau dalihnya dihubungkan dengan kasus Covid-19, justru mencerminkan inkonsistensi logis. Buktinya, Pilkada Serentak 2020 tetap terlaksana melalui penegakan protokol kesehatan.

Kalaupun alasannya soal ekonomi, justru hajatan Pemilu dapat membuka kesempatan kerja di tengah ironi kesempitan. Gairah pelaku usaha, iklim investasi dan bisnis akan bangkit dengan segala efek menetesnya ke arus bawah.

Sejarah kepemiluan pasca reformasi juga mencatat, kendati terjadi krisis moneter 1998, Pemilu 1999 tetap diadakan. Begitu pula resesi ekonomi global 2008, Indonesia tetap menggelar Pemilu 2009. Belanja logistic kampanye, industri periklanan, insentif petugas, dan kewirausahaan politik di pentas demokrasi akan berdampak konstruktif bagi pertumbuhan ekonomi.

Substansinya, kesehatan publik terlindungi disertai perhelatan Pemilu yang berintegritas. Karena itu, otoritas Pemilu dapat memanfaatkan kecanggihan teknologi secara inovatif untuk menghemat skema anggaran. Para penyelenggara Pemilu dan pihakpihak terkait perlu mendiskusikan metode yang efektif dan efisien demi terwujudnya demokrasi berkualitas.

Kalaupun gaya kampanye berbasis mobilisasi massa, maka protokol kesehatan harus diperhatikan oleh segenap pemangku kepentingan. Cara mencoblos sebisa mungkin diatur sesederhana mungkin lewat digitalisasi Pemilu. Jadi, lokus persoalannya adalah bagaimana mengelola segi teknikalitas Pemilu, bukan mengundurkan jadwalnya.

Begitu pula konflik Rusia dan Ukraina, tidak begitu berimplikasi serius terhadap konstelasi politik domestik. Secara geografis dan geopolitik, jarak spasial Indonesia dengan kawasan Eropa
sangat jauh. Lagi pula Pemilu dijadwalkan pada 2024, sementara instabilitas politik Rusia-Ukraina mustahil abadi. Artinya, ide menunda Pemilu justru bentuk irasionalitas politik.

Dengan demikian, ritual pemilu 2024 menjadi pilihan yang tepat dan logis. Kondisi aktual Indonesia jauh dari bencana serentak lokal-nasional dan darurat perang. Fokusnya adalah menjalankan tahapan-tahapan menuju Pemilu mendatang. Saat yang sama, peningkatan sektor ekonomi dan pengendalian stabilitas politik.

Data survei Charta Politika (29 November—6 Desember 2021) menunjukkan, mayoritas responden menyatakan setuju dengan penyelenggaraan Pileg-Pilpres dan Pilkada pada 2024. Sedangkan isu penundaan Pemilu 2024 menjadi 2027, sebagian besar responden menyatakan tidak setuju.

Hampir semua temuan lembaga survei lain juga memperlihatkan hasil yang sama. Rilis survei teranyar dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA (waktu riset 23 Februari—3 Maret 2022), mayoritas masyarakat di berbagai segmen menolak penundaan Pemilu.

Pemilu 2024 merupakan wahana untuk melanjutkan estafet kepemimpinan secara reguler sesuai kalender konstitusi. Jokowi pun menolak perpanjangan masa jabatan presiden maupun penundaan Pemilu, termasuk partainya, PDI Perjuangan. Meski begitu, manuver liar sebagian faksi politik di lingkungan istana perlu diantisipasi agar terhindar dari ‘jebakan batman’.

Dalam konteks itulah, komitmen konstitusional Presiden Jokowi bisa saja digoyang oleh aktor politik tertentu yang kontrareformasi. Jangan lupa, tren opini publik lebih menyetujui perhelatan Pemilu 2024. Jika penundaan Pemilu terus dipaksakan, tanpa alasan yang kuat, terang dan solid,
maka prahara politik berpotensi meledak.

Praktik demokrasi di negara-negara lain telah memberikan pelajaran bagaimana mengadakan Pemilu di tengah pandemi, antara lain Korea Selatan. Apa yang dianggap sebagai kelemahan menyangkut pesta demokrasi di Negeri Ginseng itu, kita pelajari. Selanjutnya, tata kelola penyelenggaraan Pemilu 2024 nanti diperbaiki, baik secara konseptual maupun teknis.

Mawardin,
Peneliti Charta Politika Indonesia
foto: (Istimewa)

Artikel opini ini dimuat di Harian Bisnis Indonesia, 16 Maret 2022