Kompetisi Parpol yang Terlupakan

Pemilihan umum presiden dan anggota legislatif yang dilaksanakan secara serentak pada 2019 mendatang akan menjadi tantangan baru bagi partai politik.

Mereka akan menghadapi situasi harus bersaing dan sekaligus harus bekerja sama dengan kompetitornya. Dalam konteks pemilihan presiden (pilpres), parpol pengusung Jokowi-Ma’ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno normanya akan bahu-membahu mengomunikasikan kandidatnya masing-masing. Tidak itu saja, parpol normanya juga bertindak secara cermat agar tidak melakukan blunder yang bisa merugikan kandidat mereka, termasuk di dalamnya menahan diri untuk tidak saling menyerang parpol sekoalisi.

Masalahnya, logika pileg justru mensyaratkan parpol harus bersaing satu sama lain untuk meyakinkan basis pemilihnya, memengaruhi pemilih yang belum memutuskan pilihan, ataupun merebut pemilih kompetitornya. Literatur politik menyatakan, ada beberapa pendekatan yang kerap dipergunakan parpol untuk memersuasi pemilih. Dari mulai memainkan kedekatan sosiologis (agama, etnisitas, umur, kelas) hingga mengapungkan isu kebijakan, dari mulai menonjolkan daya tarik partai sebagai organisasi hingga mengedepankan pesona figur. Lebih daripada itu, kerja sama dalam ranah pilpres di atas kertas tak menghasilkan manfaat elektoral yang berimbang dalam konteks pileg. PDI Perjuangan (PDI-P) dan terutama Gerindra diprediksi akan menikmati efek ekor jas (coattail effect) yang besar karena kader mereka menjadi capres atau cawapres. Sosok Ma’ruf Amin mungkin sekali bisa mengalirkan tambahan elektoral bagi PKB atau juga bahkan PPP.

Biaya berkoalisi

Parpol bersedia berhimpun dalam sebuah koalisi pengusung capres-cawapres sekurangnya dilandasi motif mendapatkan portofolio dalam kabinet (office-seeking) atau kesempatan memengaruhi kebijakan publik (policy-seeking). Tiap parpol punya orientasi berbeda-beda, ada yang lebih mengedepankan motif pertama, ada pula yang lebih mengutamakan motif kedua.

Pengutamaan satu dari dua motif ini mengandaikan parpol harus berkompromi dalam konteks pilihan kebijakan (karena harus disesuaikan visi-misi capres-cawapres) dan logisnya tak saling menyingkap kelemahan, kebobrokan, atau perbedaan preferensi sebuah kebijakan. Jika yang pertama berpotensi menjauhkan parpol dengan preferensi basis pemilihnya, yang terakhir berpotensi membuat parpol kian sulit dibedakan dalam upayanya membangun posisi unik di benak pemilih.

Singkatnya, parpol tak dapat optimal mengejar motif meraih suara sebanyak-banyaknya di pileg (vote-seeking). Dengan melihat komposisi kandidat yang berkontestasi (Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi), sebagian besar parpol sepertinya lebih mengejar motif office-seeking alih-alih vote-seeking ataupun policy-seeking. Lagi pula, seperti diingatkan Strom dan Muller (1999), parpol memang jarang punya kesempatan mendapatkan hasil optimum dari ketiga motif karena sifatnya yang cenderung trade-off.

Pilihan orientasi itu tentu saja ada konsekuensinya. Parpol yang perolehan suaranya kecil (baik menang maupun kalah dalam konteks pilpres) akan menderita. Daya tawar politiknya menjadi rendah dan pada saat sama harus mengorbankan kepentingan jangka panjangnya, yakni kemampuan berkontestasi dalam pemilu berikutnya. Secara keseluruhan, dapat dikatakan ada biaya politik yang harus ditanggung parpol karena berhimpun dalam koalisi. Biaya politik ini tidak sama besarnya bagi setiap parpol. Sederhananya, semakin jauh spektrum figur dan janji politik capres-cawapres dengan preferensi basis pemilihnya, semakin besar biaya yang harus ditanggungnya.

 

Manuver berkontestasi

Biaya berkoalisi mungkin tak bisa dihindari, tetapi parpol masih mungkin bermanuver agar kepentingan elektoralnya tetap terjaga. Kunci manuvernya terletak pada kemampuan memadukan kerja sama dan kompetisi sekurangnya pada tiga elemen persaingan utama: figur, isu-kebijakan, kelompok sosial. Kontestasi figur terfokus pada capres dan cawapres. Kompetensi, rekam jejak, dan personalitas calon akan jadi konten utama untuk memikat pemilih. Namun, tak selamanya atribut ini jadi acuan pemilih. Terkadang pemilih memilih kandidat yang punya kesamaan sosio-demografis, ideologi, atau identifikasi partisan lainnya dengan dirinya (Marland, 2013).

Ruang manuver sebagian besar parpol adalah memainkan faktor kedua karena faktor pertama jelas dinikmati Gerindra dan PDI-P. Penyematan atribut Sandiaga sebagai representasi santri post-Islamis, misalnya, dapat dibaca sebagai upaya PKS merangkul pemilih Muslim yang merasa tak (lagi) menjadi bagian ormas Islam yang mengakar seperti NU dan Muhammadiyah. Di lain pihak, figur Ma’ruf akan diperebutkan PKB atau PPP untuk mengonsolidasikan basis pemilihnya di kalangan nadhliyin. Ruang manuver lain untuk mengompensasi efek ekor jas adalah dengan mengasongkan figur-figur yang merepresentasikan parpol. Yang sudah biasa adalah mengedepankan figur ketua umum yang sudah dilakukan PKB, PPP, atau Perindo. Rute lain, mengasongkan figur baru seperti dilakukan Demokrat dengan Agus Harimurti Yudhoyono yang menyasar segmen pemilih muda.

Bagi parpol yang belum menyiapkan figur tambahan sebagai penguat daya tarik di mata pemilih, strategi generiknya adalah menerapkan jurus meniru dan menambahkan atribut unggulan lain (me too +1) baik menyasar pada pangsa pemilih yang sama atau mengkhususkan diri pada ceruk pemilih tertentu. Apa pun pilihannya, figur itu harus diasosiasikan sebagai “the next leader”. Bingkai inilah yang akan menjadi pengatrol utama dan sekaligus membedakan dengan para pengumpul suara biasa (vote getter). Pilihan figur yang diapungkan harus dipertimbangkan dengan saksama. Pasalnya, ia akan berperan pula sebagai jangkar dalam memajukan janji-janji politik dan juga kelompok sosial yang hendak diasosiasikan. Koherensi ketiganya penting untuk membangun persepsi kredibilitas.

Isu kebijakan yang diusung capres dan cawapres normanya merupakan hasil negosiasi dan kompromi kandidat dengan parpol pengusung. Dalam konteks pilpres, parpol terikat untuk mengampanyekannya secara sendiri-sendiri atau bersama. Namun, dalam konteks pileg, parpol dapat bermanuver dengan melakukan adaptasi, yakni menggunakan isu kebijakan capres-cawapres sebagai konten kampanye, tetapi menambahkan dimensi lain untuk menguatkannya, membuatnya unik, dan disukai target pemilihnya. Pilihan lain sebagai pelengkap, parpol bisa menerapkan strategi konfrontasi atau mengabaikannya agar tak menjadi agenda publik.

Sebagai ilustrasi awal, gagasan ekonomi berbasis umat yang dilontarkan Ma’ruf, dapat diadaptasi parpol pengusung dengan memberikan penonjolan program konkret berbasis sektoral atau berbasis spasial, misalnya. PPP dan PKB jelas memiliki kredibilitas lebih tinggi karena diasosiasikan publik sebagai parpol Islam dibanding parpol pengusung Jokowi-Ma’ruf lainnya. Meski begitu, ini juga dapat jadi kesempatan baru bagi parpol nasionalis seperti PDI-P, Nasdem, atau bahkan PSI untuk menggeser citranya sehingga dianggap lebih dekat dengan kalangan pemilih Islam. Kuncinya terletak pada kepiawaian menyorongkan program politik yang mengena, tapi tak menghilangkan karakteristik khas masing-masing.

Sebaliknya, bagi parpol koalisi pengusung Prabowo-Sandiaga seperti Gerindra atau Demokrat, gagasan ekonomi berbasis umat itu dapat dibenturkan dengan gagasan yang berbeda, misalnya dengan gagasan ekonomi kerakyatan, ekonomi Pancasila, ekonomi pasar, atau lainnya. Untuk PKS dan PAN, misalnya, strateginya adalah menyingkap kelemahan ekonomi umat versi Ma’ruf dan menawarkan versinya sendiri. Jika ini yang dilakukan, tak terhindarkan PKS dan PAN akan berebut sebagai parpol yang paling kredibel berbicara tentang gagasan tersebut.

Umumnya, parpol cenderung akan memilih isu kebijakan yang dirasakannya punya reputasi baik di benak pemilih (issue ownership) dan isu kebijakan inilah yang akan ia tonjolkan selama kampanye. Masalahnya, efek kepemilikan isu ini akan ternetralisasi jika pemilih menganggapnya sebagai isu kebijakan yang tak penting (Belanger dan Meguid, 2005). Dengan kata lain, kepemilikan isu saja tak cukup untuk mendongkrak suara dalam pemilu. Untuk mengatasi hal ini, parpol harus saling berkontestasi membangun konteks yang relevan agar isu kebijakan mereka dianggap penting oleh pemilih.

Ruang kontestasi di ranah ini relatif lebar karena parpol umumnya tak punya kepemilikan isu yang kuat. Jikapun ada, seperti dalam kasus PKS dengan solidaritas terhadap Palestina-nya, belum tentu dinilai relevan dalam konteks pileg.

Ruang manuver lain adalah kemauan untuk keluar dari isu kebijakan yang sudah generik dan terkadang berhenti sebagai jargon belaka. Tema-tema seperti utang luar negeri, impor pangan, subsidi energi, ataupun pemberantasan korupsi masuk dalam kategori ini. Sebaliknya, parpol dapat menonjolkan isu-isu keseharian, seperti pendanaan BPJS, penerimaan siswa baru, transportasi daring, dan sekaligus menjadikannya isu yang melekat pada dirinya. Parpol pengusung Prabowo-Sandiaga lebih memiliki peluang mengeksplorasi ini karena sekaligus bisa mengkritisi kinerja pemerintahan petahana. Sebaliknya, parpol pengusung Jokowi-Ma’ruf harus mencari jalan untuk menunjukkan komitmennya pada isu-isu itu dan atau menawarkan solusi baru.

Manuver kontestasi lainnya bersifat lebih agresif, yakni menyingkap wajah ganda parpol. Wajah terbuka parpol adalah apa yang tertuang dalam visi-misi dan program. Wajah lain adalah apa yang disepakati elite parpol dengan aktivis internal parpol bersangkutan (Hammel dkk, 2005). Lebih daripada itu, wajah ganda ini tak saja bisa disingkap dari manifesto parpol, tetapi juga antara pernyataan publik dan keputusan internalnya. Pengabaian hasil ijtima ulama soal cawapres Prabowo merupakan contoh bagaimana strategi ini dimainkan. Untuk itu, parpol pengusung Jokowi-Ma’ruf memang perlu bekerja lebih cerdik, tetapi tetap dalam koridor hukum yang ada.

Ketertautan parpol dengan kelompok sosial tetap relevan dalam menjungkit tingkat elektoral parpol meski harus diakui pengaruhnya tak setinggi sebelumnya karena termediasi faktor figur. Selain tetap mengelaborasi kelompok sosial yang jadi basis pemilih tradisional, parpol dapat mengkreasi dan atau menonjolkan kelompok sosial baru sebagai basis baru. Di Inggris, Partai Konservatif dan Buruh selain konstituen tradisional, juga berupaya menarik kelompok sosial baru, seperti keluarga dan orangtua (Thau, 2017).

Antisipasi

Apapun pilihan manuver kontestasinya, parpol perlu mempertimbangkan dua hal ini. Pertama, kecenderungan perilaku pemilih melakukan split ticket voting. Pada tingkat pertama, split ticket voting terjadi ketika pemilih memilih partai A untuk DPR, tetapi parpol B atau C untuk DPRD. Pada tingkat kedua, split ticket voting terjadi karena mereka memilih pasangan capres-cawapres yang tak diusung parpol yang dipilihnya untuk pileg.

Kedua, agenda laten sesama parpol pengusung. Normanya, apapun pilihan bersaing yang akan dipilih, niscaya harus memperhatikan agenda utama koalisi: memenangkan pasangan capres-cawapres yang diusung. Meski demikian, norma ini dapat dilanggar jika agenda utama sebuah parpol jauh lebih besar dari itu: membesarkan dirinya dengan memanfaatkan momentum pilpres. Mereka tak sungkan menyerang kawan seiring jika itu dianggap sepadan dengan manfaat elektoral yang bisa diraih. Bagi parpol jenis ini, memenangi pilpres hanyalah bonus. Ini berlaku terutama pada parpol yang tak menempatkan kadernya sebagai capres/cawapres atau merasa benefit posisi publik yang ditawarkan kelak tak cukup memadai untuk tujuan-tujuan mereka.

Selamat berkompetisi!

Yunarto Wijaya

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia

(Kompas, 23 Agustus 2018)

 

Foto: hariansinggalang.co.id (https://bit.ly/2YDFfyO)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *