PSI 0,9%, Yunarto: Kaesang Harus Semangat, Pasang Baliho dengan Ayah

Jakarta – Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya mengomentari secara khusus elektabilitas Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang hanya menyentuh angka 0,9 persen. Dia menilai Ketum PSI Kaesang Pangarep harus berusaha lebih keras lagi menaikkan elektabilitas partainya.

Yunarto awalnya menyoroti 3 partai yang saat ini di parlemen, berpotensi tidak akan lolos parlemen di 2024. Ketiga partai itu yakni Demokrat, PPP, dan PAN.

“Demokrat, dan saya pikir beberapa partai yang masih harus bertarung untuk mengejar parliamentary threshold. Ada Demokrat, PAN, PPP, Perindo,” kata Yunarto saat memaparkan survei, Senin (6/11/2023).

Yunarto juga mengomentari elektabilitas PSI yang hanya mencapai 0,9 persen. Dia menyinggung elektabilitas PSI tetap rendah meski sudah marak memasang baliho dan dipimpin oleh putra Presiden Joko Widodo (Jokowi).

“Ada PSI yang walaupun balihonya banyak mengalahkan partai-partai besar lain, dan sudah punya ketum seorang anak presiden, angkanya masih di 0,9 persen,” ujar dia.

Lebih lanjut, Yunarto menilai Kaesang harus lebih rajin lagi berkeliling ke wilayah-wilayah di Indonesia. Selain itu, dia juga berpesan agar Kaesang lebih rajin lagi memasang baliho bergambar dirinya dan Jokowi.

“Jadi harus lebih semangat lagi Kaesang lagi nih keliling-keliling, termasuk memasang baliho dirinya dan ayahnya. Karena kalau kita baca di sini masih jauh sekali dari target angka untuk lolos parliamentary threshold,” tutur dia.

Elektabilitas Parpol

Charta Politika Indonesia merilis survei elektabilitas partai politik di Pemilu 2024. Hasilnya, PDIP berada di posisi teratas, dibuntuti Gerindra, Golkar, PKB, dan NasDem.

Survei ini digelar pada 26 hingga 31 Oktober 2023 dengan melibatkan 2.400 responden. Para responden dipilih secara acak atau multistage random sampling di 38 provinsi.

Metode survei dilakukan wawancara secara tatap muka. Adapun margin of error survei +/- 2% dengan tingkat kepercayaan survei 95%.

Berikut ini hasilnya:

PDIP 26,3%
Gerindra 17,8%
Golkar 8,1%
PKB 7,9%
NasDem 7,6%
PKS 6,9%
Demokrat 3,8%
PPP 3,4%
PAN 3,1%
Perindo 2,8%
PSI 0,9%
Hanura 0,7%
PBB 0,4%
Gelora 0,3%
Buruh 0,2%
Garuda 0,1%
Ummat 0%
TT/TJ 9,8%

 

(maa/gbr)
Matius Hutajulu – detikNews
Foto: Ari Saputra/detikcom

Survei Charta Politika: Gibran Tak Pantas Jadi Cawapres

Charta Politika merilis hasil survei dengan tajuk ‘peta elektoral pasca putusan MK dan pendaftaran capres dan cawapres’ pada Senin (6/11).

Survei ini turut menyinggung elektabilitas tiga bacawapres yang bakal bertarung di Pilpres 2024 yakni Muhaimin Iskandar, Mahfud MD dan Gibran Rakabuming Raka.

Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya, menuturkan berdasarkan elektabilitas, Mahfud unggul dari Cak Imin dan Gibran.

“Pada kategori Wakil Presiden, Mahfud MD (34,8%) menjadi pilihan tertinggi responden, diikuti Gibran Rakabuming Raka (32,0%) dan Muhaimin Iskandar (20,9%),” kata Yunarto dalam paparannya.

Majunya Gibran menjadi bacawapres Prabowo Subianto tak lepas dari putusan kontroversial MK. MK melalui ‘perkara 90’ memutus mengubah syarat pendaftaran capres-cawapres.

Putusan itu menjadi ‘karpet merah’ bagi Gibran sehingga akhirnya ia bisa maju di Pilpres 2024.

Hasil survei Charta Politika terkait putusan Mahkamah Konstitusi. Foto: Charta Politika

 

Charta Politika menuturkan, berdasarkan hasil survei mereka, mayoritas percaya ada campur tangan Presiden Jokowi dalam putusan itu. Mengingat Ketua MK Anwar Usman menikahi adik kandung Jokowi, Idayati.

“Sebanyak 39,7% responden menyatakan percaya bahwa Presiden Joko Widodo turut campur dalam keputusan Mahkamah Konstitusi terkait batasan usia calon Wakil Presiden,” tutur Yunarto.
Lebih jauh, Charta Politika juga meminta pendapat masyarakat apakah Gibran layak menjadi cawapres atau tidak. Hasilnya, mayoritas rakyat menganggap Gibran saat ini belum layak menjadi RI 2.

Bakal calon wakil presiden dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) Gibran Rakabuming Raka mendengarkan aspirasi warga saat safari politik di Gondangwinangun, Ngadirejo, Temanggung, Jawa Tengah, Minggu (29/10/2023). Foto: Anis Efizudin/Antara Foto

 

Setidaknya ada empat penilaian utama Charta Politika. Berikut daftarnya:

  1. Gibran R Raka orang yang ambisius dan tidak punya loyalitas terhadap partai politik/organisasi
  2. Majunya Gibran R sebagai calon Wakil Presiden merupakan bentuk nyata penyalahgunaan kekuasaan oleh Presiden Joko Widodo
  3. Majunya Gibran R sebagai calon Wakil Presiden merupakan praktik politik dinasti yang sedang dilakukan Presiden Jokowi
  4. Masih terlalu muda, dan belum terlalu memiliki pengalaman menjadi pejabat publik

 

“Sebanyak 48,9% responden menilai Gibran Rakabuming Raka tidak pantas menjadi calon Wakil Presiden 2024. Dari jumlah tersebut, mayoritas menilai bahwa Gibran masih terlalu muda dan belum memiliki pengalaman menjadi pejabat publik (55,4%),” tutup Yunarto.

Hasil survei Charta Politika terkait kepantasan Gibran Rkabuming menjadi cawapres Foto: Charta Politika

 

Survei Charta Politika ini digelar pada 26-31 Oktober 2023. Total ada 2.400 responden berasal dari seluruh wilayah Indonesia.

Metode survei menggunakan wawancara tatap muka dengan metode multistage random sampling. Margin of eror 2 persen.

 

 

Tim Editor: Fadjar Hadi, Muhammad Luthfi Humam, Ahmad Romadoni
Sumber: Kumparan.com
Foto 1: Muhammad Fadli Rizal/kumparan
Foto 2: Anis Efizudin/Antara Foto

Andika Perkasa Berpeluang Jadi Cawapres Ganjar, Pengamat: Menarik untuk Lawan Prabowo

Jakarta – Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya menganggap masuknya nama mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Andika Perkasa sebagai calon pendamping bakal capres PDI-P Ganjar Pranowo menarik.

Yunarto menyebut Andika bisa memanfaatkan kekuatannya sebagai seorang jenderal untuk mendampingi Ganjar dalam menghadapi bakal capres lain, yakni Prabowo Subianto, yang juga merupakan pensiunan jenderal.

“Munculnya nama Andika menurut saya jadi menarik, karena lawannya dari Ganjar ini kan yang paling kuat saat ini Prabowo. Dengan kelengkapan sosok jenderal di sampingnya itu jadi kekuatan tersendiri,” Ujar Yunarto dalam keterangan tertulis yang diterima, Kamis 21 September 2023.

Yunarto juga menilai, hal ini juga bisa menjadi kekuatan tersendiri karena melibatkan sipil dan militer. “Kombinasi antara kekuatan nasionalis secara sipil bersanding dengan kekuatan militer, yang biasanya dekat dengan pemilih islam, bisa jadi kekuatan tersendiri” ujarnya

Hanya saja, menurut Yunarto, masih ada persoalan lain sebelum memutuskan cawapres Ganjar Pranowo. “Persoalan lain itu yakni kepentingan partai pendukung Ganjar,” ujar Yunarto.

Sebagaimana diketahui, jadwal pendaftaran pasangan Capres-Cawapres 2024 semakin dekat. Komisi II DPR RI bersama KPU RI dan Bawaslu RI menyepakati masa pendaftaran pasangan calon presiden dan calon wakil presiden dilakukan pada 19 hingga 25 Oktober 2023.

Waktu tersebut disetujui berdasarkan rapat konsultasi di Ruang Rapat Komisi II DPR RI, Jakarta, Rabu malam, 20 September 2023.

“Jadi, 19-25 Oktober 2023. Kita sepakat, ya? Oke,” kata Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia selaku pimpinan rapat Komisi II dengan KPU dan Bawaslu RI.

Kemudian, Doli yang merupakan Anggota Fraksi Partai Golkar ini menanyakan kepada anggota parlemen lainnya termasuk pemerintah terkait jadwal pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden dilakukan pada 19 hingga 25 Oktober 2023.

“Pemerintah setuju?” tanya Doli.

Akhirnya, anggota Komisi II DPR RI dan pemerintah sepakat untuk jadwal pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden yang diusulkan tersebut. “Setuju,” jawab peserta sidang.

Oleh : Anwar Sadat
Foto : Sumber : Istimewa
Sumber berita : Viva.co.id

Teka Teki Cawapres Ganjar: Sekjen PDI-P Ungkit Kejutan di Pilpres 2019, Ganjar Unggah Foto Bersama Mahfud

JAKARTA, KOMPAS.com – Teka-teki siapa sosok bakal calon wakil presiden (cawapres) dari Ganjar Pranowo masih terus bergulir.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sebagai partai pengusung Ganjar pun hingga kini terus menggodok nama-nama yang bermunculan sebagai kandidat cawapres.

Dalam prosesnya, PDI-P turut serta melibatkan partai politik pengusung Ganjar lainnya, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Perindo, dan Partai Hanura.

Diketahui, PPP mengusulkan nama Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Sandiaga Uno sebagai bakal cawapres Ganjar.

Kemudian, Ketua DPP PDI-P Puan Maharani mengatakan, nama bakal cawapres Ganjar mengerucut pada lima nama. Mereka adalah Sandiaga Uno, Menteri BUMN Erick Thohir, eks Panglima TNI Andika Perkasa, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar.

Namun, Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto pada Minggu (10/9/2023) di Kantor DPD PDI-P Provinsi Banten, mengakui adanya nama baru yang bisa saja muncul di luar kandidat cawapres Ganjar sejauh ini.

Hasto mengungkit sejarah Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 ketika PDI-P mengusung Joko Widodo (Jokowi) sebagai bakal calon presiden (capres).

Kala itu, nama Ma’ruf Amin yang menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia, justru terpilih menjadi bakal cawapres Jokowi.

Padahal, nama Ma’ruf Amin tidak masuk dalam radar survei bakal cawapres Jokowi setahun ke belakang pada waktu itu.

“Secara empiris, 2019 itu kan di luar persoalan elektoral tiba-tiba kan muncul KH Maruf Amin. Sebagai suatu kemungkinan, hal itu bisa terjadi,” kata Hasto ditemui di Kantor DPD PDI-P Banten, Minggu.

Dengan begitu, menurut Hasto, nama tokoh baru sangat memungkinan untuk muncul menjadi pendamping Ganjar maju di Pilpres 2024.

Bahkan, Hasto membuka kemungkinan bakal cawapres Ganjar juga bukan berasal dari nama-nama yang sebelumnya kerap masuk dalam sejumlah survei nasional.

“Ya, di luar nama-nama survei yang sudah beredar juga bisa muncul suatu tokoh baru. Meskipun, nama yang dikerucutkan lima. Jadi mungkin saja ada tokoh nasional yang tidak ikut berkontestasi, namun terus bekerja secara silent penuh dedikasi bagi bangsa dan negara,” ujarnya.

“Sosok ini bisa saja selama ini tidak dilirik, namun memiliki rekam jejak membangun Indonesia secara progresif,” kata Hasto melanjutkan.

Namun, ia kembali mengingatkan bahwa semua keputusan mengenai Pilpres 2024 termasuk cawapres berada di tangan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri.

Hasto kemudian meminta semua pihak untuk menunggu pada saat waktunya akan diumumkan.

“Apakah 2024 ini akan terjadi hal yang sama (di luar nama-nama hasil survei) kita tunggu tanggal mainnya, hehe,” kata Hasto sembari tersenyum.

Tangkapan Layar Instagram/@ganjar_pranowo

Ganjar ngopi bareng Mahfud MD

Setelah Hasto membicarakan soal bakal cawapres tersebut, muncul unggahan baru di akun Instagram pribadi Ganjar @ganjar_pranowo pada hari yang sama.

Ganjar mengunggah foto bersama Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD. Keduanya tengah bersantai dan tertawa bersama.

Postingan itu diunggah pada Minggu sore. Ganjar turut menuliskan keterangan foto tersebut

“Ngopi bareng beliau bikin sore makin asyik. Terimakasih ya, Prof @mohmahfudmd,” bunyi keterangan pada foto tersebut.

Dalam foto tersebut, Ganjar tampak tertawa lebar. Begitu juga dengan Mahfud yang terlihat tertawa.

Kemudian, Mahfud tampak menatap lurus ke depan, sedangkan Ganjar menatap ke arah Mahfud.

Di hadapan keduanya, ada sebuah meja lengkap dengan dua cangkir kopi.

Mahfud dengan segudang pengalamannya memang sempat dianggap cocok mendampingi Ganjar Pranowo.

Namun, nama Mahfud muncul dan tenggelam sebagai kandidat bakal cawapres Ganjar. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini juga tidak masuk dalam lima kandidat terkuat bakal cawapres Ganjar.

Kembali ke Pilpres 2019, Mahfud juga digadang-gadang menjadi cawapres pendamping Joko Widodo (Jokowi).

Meskipun, akhirnya Jokowi maju bersama Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) ketika itu, Ma’ruf Amin.

Tak bahas soal cawapres

Sehari setelah unggahan Ganjar, Mahfud memberikan klarifikasi. Ia mengatakan, tak ada pembahasan soal bakal cawapres saat bertemu dengan Ganjar.

Mahfud juga tegas membantah bahwa dirinya diajak Ganjar untuk menjadi bakal cawapres dalam pertemuan tersebut.

“Enggak (tidak membahas soal bakal cawapres). Enggak (tidak diajak),” ujar Mahfud di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (11/9/2023).

“Kita tahu bahwa keputusan itu ada di pimpinan partai dan pimpinan partai sudah punya pertimbangan-pertimbangan dan ukuran-ukuran sendiri. Oleh sebab itu, kita enggak bicara soal capres, cawapres,” katanya lagi.

Bahkan, Mahfud mengatakan, penentuan bakal cawapres Ganjar ada di tangan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.

Lebih lanjut, Mahfud mengungkapkan, lebih banyak nostalgia dengan Ganjar dalam pertemuan tersebut.

“Bicara soal, dia kan temen ya. Dulu kan waktu di DPR itu kami sering berdiskusi tentang pemberantasan korupsi, nostalgia ajalah makan-makan. Cuma gitu saja,” ujarnya.

Elektabilitas Mahfud

Berdasarkan catatan Kompas.com, Mahfud MD memang beberapa kali tercatat dalam bursa cawapres di sejumlah hasil survei.

Namun, namanya memang menempati elektoral papan tengah di sejumlah survei.

Yang mengejutkan, nama Mahfud sempat masuk dalam urutan tiga elektabilitas cawapres berdasarkan hasil survei Charta Politika pada Mei 2023.

Saat itu, elektabilitas Mahfud mencapai 15,2 persen. Hal itu diungkapkan Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya.

Menurut Yunarto, sejauh ini nama Mahfud tidak pernah masuk ke dalam top tiga kandidat cawapres dengan elektabilitas tertinggi.

“Dan yang ketiga, yang mengagetkan. Saya pikir ini nama baru, tidak pernah dibahas banyak terlalu banyak dalam rilis-rilis sebelumnya. Pak Mahfud ini di peringkat ketiga dan sudah masuk angka belasan persen,” ujar Yunarto dalam jumpa pers virtual pada 15 Mei 2023.

Yunarto mengatakan, elektabilitas Mahfud tidak terlampau jauh dari Ridwan Kamil dan Sandiaga Uno yang biasanya menjauhi sosok kandidat cawapres lain.

Terlebih, menurutnya, Mahfud berhasil menyalip angka elektabilitas nama-nama lain seperti Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Menteri BUMN Erick Thohir, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, hingga Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar.

Namun, pada Agustus 2023, elektabilitas Mahfud dalam jajak pendapat Litbang Kompas hanya mencapai 3,7 persen.

Elektabilitas Mahfud berada di bawah Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, Erick Thohir, Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

 

Penulis : Nicholas Ryan Aditya
Editor : Novianti Setuningsih
Foto : KOMPAS.COM/Fristin Intan Sulistyowat

Tangkapan Layar Instagram/@ganjar_pranowo

 

Pengamat: Basuki Menteri PUPR Bisa Jadi Alternatif Cawapres Ganjar Pranowo

Liputan6.com, Jakarta – Menjelang pemilu 2024, bursa pencalonan calon wakil presiden (Cawapres) semakin ketat. Satu-satunya bakal calon presiden yang telah mendeklarasikan pasangan calon wakil presiden adalah Anies Baswedan, yang berpasangan dengan ketua Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar

Sementara, bursa salah satu bakal calon presiden RI, Ganjar Pranowo, sedang ramai diperbincangkan, dan mencuat nama Ridwan Kamil sebagai salah satu kandidat terkuat.

Menanggapi hal tersebut, Direktur eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya berpendapat lain. Ia justru merekomendasikan nama Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono dan Menteri Keuangan, Sri Mulyani.

Menurut Yunarto, Basuki dan Sri Mulyani adalah 2 sosok yang tepat untuk melambangkan keberlanjutan presiden Joko Widodo, sesuatu yang seringkali digaungkan oleh Ganjar.

“Kalo bicara keberlanjutan Jokowi, harusnya bursa Cawapres diisi oleh Basuki Hadimuljono dan Sri Mulyani.” ujar Yunarto dalam keterangan tertulis

Sebelumunya, Basuki Hadimuljono memang telah masuk ke dalam bursa calon wakil presiden di internal PDI-Perjuangan. Sekretaris Jendral PDI-Perjuangan, Hasto Kristiyanto juga memuji kinerja Basuki yang ia anggap sangat positif dan banyak daerah yang mengalami kemajuan infrastruktur di bawah Basuki

“Karena Beliau, ada dari daerah-daerah Aceh mengalami kemajuan, Papua mengalami kemajuan, Sumatera, Palembang mengalami kemajuan karena pembangunan infrastruktur. Kemudian, NTT mengalami kemajuan,” ujar Hasto.

“Kemudian, ada yang mengusulkan Pak Basuki, yang oleh Pak Jokowi dikatakan sebagai bapak infrastruktur,” katanya lagi.

Sri Mulyani dan Basuki Hadimuljono adalah 2 menteri yang dipertahankan Presiden Joko Widodo selama 2 periode. Sri Mulyani menjabat menjadi Menteri Keungan dari 2016 hingga saat ini. Sementara Basuki, menjadi Menteri PUPR sejak tahun 2014 hingga saat ini

Sri Mulyani dan Basuki Hadimuljono adalah 2 menteri yang dipertahankan Presiden Joko Widodo selama 2 periode.

Sri Mulyani menjabat menjadi Menteri Keungan dari 2016 hingga saat ini. Sementara Basuki, menjadi Menteri PUPR sejak tahun 2014 hingga saat ini

 

Liputan6
Foto: Dok Kementerian PUPR

 

Saat Partai Berjibaku agar Pileg Tak Dilupakan

Publik menganggap isu pilpres seolah lebih ”seksi” ketimbang pileg. Alhasil, narasi pilpres lebih mengemuka. Fenomena ini menjadi tantangan bagi partai untuk menyosialisasikan pileg kepada khalayak.

 

Pagi-pagi benar, Dewan Pengurus Pusat Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB menggelar rapat pleno di kantornya di Jakarta, Jumat (1/9/2023). Selang tujuh jam kemudian, rapat pleno membahas tawaran Partai Nasdem untuk menduetkan Anies Rasyid Baswedan dengan Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB, dalam Pemilu Presiden 2024, dilanjutkan di Surabaya, Jawa Timur. Hasilnya, PKB menerima tawaran Nasdem dan mencabut dukungannya kepada Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra.

Pada hari yang sama, Majelis Tinggi Partai Demokrat menggelar rapat darurat di Cikeas, Bogor, Jawa Barat, untuk membahas perkara yang sama, keputusan Nasdem menduetkan Anies dengan Muhaimin. Rapat darurat yang dipimpin langsung Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono itu menghasilkan dua kesepakatan. Pertama, Demokrat mencabut dukungan kepada Anies. Kedua, Demokrat keluar dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan yang sebelumnya dibentuk bersama Nasdem dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Demokrat merasa kecewa karena, menurut mereka, sebelumnya Anies sudah meminta Agus Harimurti Yudhoyono, Ketua Umum Partai Demokrat, untuk menjadi bakal calon wakil presiden (cawapres). Bahkan, Demokrat mengklaim, pasangan Anies-Agus tinggal menunggu waktu yang tepat untuk dideklarasikan.

DOKUMENTASI PARTAI DEMOKRAT

 

Empat hari sebelumnya, tepatnya Senin (28/8), Muhaimin masih menghadiri perayaan Hari Ulang Tahun Ke-25 Partai Amanat Nasional (PAN) di sebuah hotel di Jakarta, bersama empat pimpinan partai politik Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR). Mereka adalah Prabowo, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto, dan Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra.

Dalam kesempatan itu, Prabowo mendadak mengumumkan perubahan nama koalisi partai pendukungnya kepada publik, dari KKIR menjadi Koalisi Indonesia Maju (KIM). Nama koalisi tersebut diklaim sudah dimusyawarahkan bersama empat ketua umum partai lainnya.

Sementara itu, Senin siang, petinggi Partai Hanura mengunjungi kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Tujuannya, memberikan dukungan resmi kepada bakal capres dari PDI-P Ganjar Pranowo. Kehadiran Hanura menambah panjang barisan partai pendukung Ganjar setelah sebelumnya ada Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Persatuan Indonesia (Perindo).

Informasi-informasi itulah yang memenuhi ruang publik dalam sepekan terakhir. Jika ditarik mundur lagi, sebenarnya masih banyak peristiwa lain yang berhubungan dengan kontestasi capres-cawapres menjadi perbincangan hangat di publik. Salah satunya momentum kebersamaan antara Presiden Joko Widodo dengan Prabowo dan Ganjar di Pekalongan, Jawa Tengah, 29 Agustus 2023.

PMI SEKRETARIAT PRESIDEN/LAILY RACHEV

Ada pula momentum pertemuan Anies dengan Ketua Majelis Tinggi Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono di Cikeas, yang kemudian dilanjutkan pertemuan Anies dengan Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Aljufri di Jakarta pada akhir pekan keempat Agustus.

Narasi pertarungan pilpres semacam itu seolah tak berhenti, apalagi mendekati tahapan pendaftaran capres-cawapres yang akan dimulai pada 19 Oktober. Padahal, Pemilu 2024 tidak bisa dilihat sebatas kontestasi capres, tetapi juga ada kontestasi calon anggota legislatif (caleg).

Ketua Badan Pemenangan Pemilu DPP Partai Golkar Maman Abdurrahman menyadari keriuhan itu tak hanya terjadi di kehidupan nyata, tetapi juga di media sosial. Menurut dia, hal itu merupakan konsekuensi dari penyelenggaraan Pemilu 2024 secara serentak. Publik menganggap isu pilpres ”lebih seksi” dibandingkan isu pemilu legislatif (pileg).

Meski demikian, bagi Maman, jika dilihat secara obyektif, pilpres dan pileg sesungguhnya memiliki bobot yang sama. Dalam pilpres, rakyat akan memilih presiden dan wakil presiden yang akan menjalankan pemerintahan selama lima tahun ke depan. Begitu pula dalam pileg, rakyat akan memilih wakil-wakil mereka untuk mengawasi kinerja pemerintah.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

”Tetapi, kan, itu pandangan kami secara obyektif. Kan, pandangan publik melihatnya bisa jadi berbeda. Ya, sudahlah, kami jalani saja,” kata Maman.

Tak lebih tinggi

PDI-P juga memandang bahwa bobot pileg dan pilpres sama. Karena itu, menurut Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto, partainya tidak pernah menempatkan porsi narasi pilpres lebih tinggi dibandingkan pileg ataupun sebaliknya. Sebab, bagi PDI-P, pileg dan pilpres harus terkoneksi dan diperjuangkan dalam satu tarikan napas.

Dengan telah ditetapkannya daftar calon sementara (DCS) anggota DPR ataupun DPRD provinsi dan kabupaten/kota, semua langsung bergerak. Tak hanya menyosialisasikan diri, ideologi serta program partai, bakal caleg juga menyosialisasikan Ganjar, bakal capres yang ditetapkan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri.

”Antara bakal caleg dan capres Ganjar Pranowo selalu connected. Strategi kampanye caleg dan capres sama, yakni penggalangan, komunikasi politik, dan melakukan hal konkret bagi rakyat,” ucap Hasto.

Sejak KPU mengumumkan penetapan DCS pada 19 Agustus lalu, baliho dan spanduk bergambar para caleg PDI-P untuk semua tingkatan lembaga perwakilan bermunculan di berbagai daerah. Umumnya, dalam baliho para bakal caleg itu juga terpasang gambar wajah Ganjar Pranowo.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Menurut Hasto, para bakal caleg PDI-P memang dipersiapkan sebaik mungkin untuk bisa menyosialisasikan tiga hal. Pertama, ideologi, platform, program partai di dalam menjawab berbagai persoalan rakyat, sekaligus desain kebijakan bagi masa depan. Kedua, menggalang dukungan untuk pemenangan Ganjar. Ketiga, menegaskan kesinambungan kepemimpinan nasional sejak Presiden Soekarno, Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri, Presiden Joko Widodo, dan Ganjar sebagai satu kesatuan kepemimpinan untuk Indonesia.

”Kapasitas bakal caleg yang sudah ditetapkan lewat tahap psikotes, wawancara mendalam, penugasan di akar rumput, dan kemampuan komunikasi politik, serta penggalangan menjadikannya siap menjalankan tiga fungsi itu sekaligus,” kata Hasto.

Strategi serupa dilancarkan Partai Gerindra. Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menegaskan, sejak awal, Gerindra menempatkan pilpres dan pileg sama penting dan saling mendukung. Karena itu, Gerindra sudah mempunyai langkah-langkah sendiri untuk menang dalam dua kontestasi itu.

Sama dengan umumnya caleg parpol lain, para caleg Gerindra juga memasang spanduk atau baliho yang tak hanya berisi gambar wajah mereka. Dalam spanduk itu juga terdapat logo dan nomor urut partai serta gambar wajah Prabowo Subianto.

Turun ke pemilih

PKS juga tidak ingin merespons dinamika pilpres secara berlebihan. Juru Bicara PKS Ahmad Mabruri mengatakan, kebijakan itu bertujuan agar pengurus dan kader bisa tetap berkonsentrasi pada pemenangan pileg.

ADRYAN YOGA PARAMADWYA

Di tengah tantangan tertutupnya isu pileg, PKS meminta bakal caleg yang telah mendapatkan nomor urut untuk turun ke pemilih. Mereka diinstruksikan berinteraksi langsung dengan calon pemilih agar menciptakan ikatan emosional. Koordinator daerah pemilihan (dapil) yang dibentuk melakukan pembagian wilayah hingga tingkat RW agar tak ada bakal caleg yang berebut wilayah kampanye.

Di sisi lain, sosialisasi melalui alat peraga kampanye, seperti baliho, spanduk, dan media sosial, digencarkan. Strategi melalui berbagai jalur ini dilakukan agar masyarakat melihat gegap gempita pileg dan tidak hanya fokus pada pilpres. ”Interaksi langsung menjadi hal sangat penting agar kedekatan caleg dengan pemilih tidak mudah hilang akibat tertutup perhatian dengan pilpres,” ujar Mabruri.

Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Sigit Widodo sependapat dengan Mabruri. Bagi PSI, isu pilpres tidak terlalu kuat di akar rumput. Untuk itu, PSI lebih fokus meminta bakal calegnya untuk turun ke lapangan serta menyosialisasikan program PSI dan memperkenalkan diri ke masyarakat.

 

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Sigit menyadari, efek ekor jas (coat-tail effect) secara umum hanya berpengaruh besar pada partai yang kadernya diusung menjadi capres dan cawapres. Untuk itu, PSI tidak terlalu mempertimbangkan efek ekor jas dalam pemenangan pileg. ”Strategi kami turun langsung ke masyarakat sambil memperkenalkan program-program utama PSI, seperti BPJS gratis, kuliah gratis, dan mengegolkan Undang-Undang Perampasan Aset,” tuturnya.

Situasi berulang

Analis politik dari Charta Politika, Nachrudin, melihat, terpusatnya perhatian publik kepada pilpres ini memang cenderung terjadi ketika pemilu digelar secara serentak. Situasi semacam ini juga pernah terjadi pada Pemilu 2014 dan 2019.

Pada Pemilu 2019, misalnya, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pernah menemukan bahwa 70 persen percakapan publik kala itu didominasi pembahasan pilpres. Ini membuat pileg tidak mendapatkan ruang yang cukup dalam diskursus publik.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

”Alasannya mungkin karena publik lebih mudah mengenali pertarungan pilpres karena hanya ada beberapa nama yang muncul. Sementara terkait pileg, pilihan nama sangat banyak dan kecenderungannya publik lebih memilih partai politiknya saja. Di luar itu juga ada pengaruh dari elite partai yang lebih fokus pada pilpres,” tuturnya.

Nachrudin tak memungkiri, situasi itu justru memicu munculnya apatisme publik terhadap pergelaran pileg. Terlebih, kerja-kerja legislatif cenderung tidak terlalu dirasakan masyarakat. Masyarakat lebih merasakan kebijakan-kebijakan yang berasal dari eksekutif, baik bupati, gubernur, maupun presiden. ”Alhasil, animo masyarakat cenderung lebih tinggi di pemilihan eksekutif, baik itu pilpres, pilwakot, pilbup, atau pilgub,” ucapnya.

Meski demikian, lanjut Nachrudin, sebenarnya partai politik juga bisa menuai untung dari pemilu serentak. Ini terutama berlaku bagi partai-partai politik yang mengusung kadernya sendiri sebagai capres ataupun cawapres. Sebab, pada saat kampanye, para bakal caleg tak hanya ”mempromosikan” dirinya, tetapi juga capres yang diusung partainya.

 

Publik lebih mudah mengenali pertarungan pilpres karena hanya ada beberapa nama yang muncul. Sementara terkait pileg, pilihan nama sangat banyak dan kecenderungannya publik lebih memilih partai politiknya saja. Di luar itu juga ada pengaruh dari elite partai yang lebih fokus pada pilpres

 

Karena itu, pileg menjadi pekerjaan berat bagi partai-partai politik yang tidak mengusung kadernya di pilpres. Caleg harus berupaya keras menyosialisasikan dirinya di dapil. Pilihan lain adalah partai menempatkan orang-orang yang punya popularitas ataupun elektabilitas yang sudah teruji, seperti mantan kepala daerah dan kerabatnya. Partai juga bisa menempatkan tokoh populer di dapil, seperti artis.

Caleg tak dikenali

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menambahkan, ada konsekuensi panjang jika narasi pileg terus dikalahkan oleh pilpres. Salah satunya, pemahaman publik atas prosedur pemilu menjadi minim dan pemilih juga tidak terlalu mengenali caleg yang berkompetisi di dapilnya.

Kondisi itulah yang pada Pemilu 2019 mengakibatkan lebih dari 17,5 juta suara pemilih untuk pemilu DPR dinyatakan invalid atau tidak sah. Jumlah ini setara dengan 11,12 persen pengguna hak pilih.

Kondisi pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) lebih ironis lagi. Ada 29 juta atau 19 persen suara pemilih DPD yang dinyatakan tidak sah. Kebanyakan surat suara ditetapkan tidak sah karena dibiarkan kosong atau tidak tercoblos oleh pemilih. Selain itu juga surat suara, terutama untuk DPR, tercoblos ganda.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Menurut Titi, fenomena itu merupakan preseden yang tidak baik. Sebab, sistem presidensial yang kuat juga memerlukan parlemen yang kuat dalam menjalankan pengawasan ketat agar pemerintah tidak tergelincir menjadi tirani mayoritas. Parlemen yang lemah dipastikan akan melemahkan sistem presidensial. Apalagi, jika DPR kurang optimal menjalankan fungsi pengawasan, legislasi, dan penganggaran.

Selain itu, pileg yang tidak mendapat perhatian memadai dari pemilih akan membuat caleg bermasalah atau pernah punya rekam jejak kurang baik lebih leluasa terpilih dan memenangi pemilu. Misalnya, caleg mantan terpidana kasus korupsi bisa lepas dari sorotan. Publik tetap akan memilih karena tidak punya informasi memadai mengenai latar belakang caleg tersebut.

”Kalau sampai parlemen diisi oleh figur yang kurang kompeten dan bermasalah, pertaruhannya adalah kualitas pelayanan publik yang akan terdampak akibat produk legislasi, penganggaran, dan pengawasan yang tidak berkualitas dari para legislator di parlemen,” papar Titi.

Lebih dari itu, lanjut Titi, konsentrasi pemilih yang terfokus pada pilpres juga bisa memicu praktik transaksional guna mendapatkan suara pemilih. Alasannya sederhana, jalan pintas memengaruhi pemilih di tengah masa kampanye yang pendek adalah dengan menggunakan pengaruh uang. Praktik jual-beli suara pun bisa marak.

 

Melihat sederet persoalan tersebut, Titi berharap parpol dapat mengimbangi narasi pilpres dengan mengedukasi pemilih soal pileg. Edukasi terutama terkait tata cara pemilihan, serta tawaran gagasan yang menjadi visi-misi partai sebagai peserta pemilu. Sebab, selama ini, publik belum melihat pembeda antarpartai yang bisa membuat pileg lebih menarik dibandingkan pilpres.

Di sisi lain, KPU juga harus lebih gencar lagi dalam menyosialisasikan tentang pemilu serentak yang bukan hanya pilpres, melainkan juga ada pileg. KPU perlu progresif memperkenalkan partai dan caleg melalui keterbukaan riwayat hidup. Sebab, publik butuh akses informasi kepemiluan yang lebih masif dan kredibel agar bisa membuat keputusan dengan tepat.

 

Oleh NIKOLAUS HARBOWO, IQBAL BASYARI
Editor:ANITA YOSSIHARA
Sumber:Kompas.id
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

 

Budiman Sudjatmiko Dukung Prabowo Nyapres, Ini Kata Pengamat

Jakarta – Mantan politikus PDI Perjuangan Budiman Sudjatmiko mendeklarasikan dukungan untuk Prabowo Subianto sebagai bakal calon presiden. Pengamat Politik Yunarto Wijaya menilai keputusan tersebut menjadi panggung politik baru bagi Budiman yang tak lagi bersinar di PDIP setelah kalah sebagai caleg pada Pemilu 2019.

Menurutnya, keputusan ini berpotensi menjadi blunder. Pasalnya hal ini dapat merugikan Prabowo.

“Kalau saya pribadi melihatnya ini blunder untuk Pak Prabowo kalau kita baca monitoring dari pemberitaan terkait Budiman Sudjatmiko, hanya Budiman yang untung, Prabowo yang rugi,” kata Yunarto dalam keterangan tertulis, Minggu (27/8/2023).

Ia mengatakan Budiman mendapatkan panggung atau perhatian publik dengan pembahasan tentang kasus ’98’. Sementara peran Prabowo juga terangkat kembali, termasuk fakta pemberhentiannya dari TNI karena dinilai bersalah oleh Dewan Kehormatan Kehormatan (DKP) ABRI.

Dalam berbagai forum, tambahnya, Budiman terlihat kerap menyampaikan kembali tentang kasus tersebut yang berkaitan dengan penculikan aktivis dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

“Budiman mendapatkan panggung tetapi pembicaraan mengenai kasus 98, penculikan aktivis, itu malah menjadi bunyi kembali. Jadi, kalau ditanya siapa yang mendapatkan narasi positif di sini saya kita tidak ada,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Yunarto memandang pengaruh Budiman di PDI-P mulai redup dan perannya semakin tidak signifikan bagi partai meskipun telah menjadi anggota sejak lama. Terlebih, setelah yang bersangkutan gagal menjadi anggota legislatif dalam Pemilihan Legislatif 2019 lalu. Budiman disebut mulai mencari ‘tempat’ baru untuk kembali mengangkat namanya

“Tetapi dalam konteks mendapatkan panggung politik, Budiman Sudjatmiko memang kita tahu sinarnya sudah redup di PDI Perjuangan karena pada tahun 2019. Dia kalah untuk maju dalam Pileg dan dia sekarang mendapatkan kendaraan baru dan panggung baru,” tuturnya.

Keputusan Budiman merapat ke kubu Prabowo pun disebut nekat. Pasalnya, Budiman mengorbankan keanggotaannya di PDI-P yang belakangan memecatnya.

Namun, ia pun menegaskan keputusan Prabowo menerima Budiman malah merugikan Prabowo. Apalagi pembahasan kasus yang menyudutkannya malah membuat publik kembali sadar.

“Di sisi lain, Pak Prabowo justru malah mendapatkan tone negatif karena perbincangan yang selama ini menjadi beban buat Pak Prabowo, yang membayang-bayangi selalu Prabowo Subianto naik turun terkait dengan 98 yang penculikan aktivis karena adanya isu Budiman Sudjatmiko itu kembali naik,” pungkasnya.

(akn/ega)
Foto: Afzal Nur Iman/detikJateng
Sumber: news.detik.com

Yunarto: Prabowo Rugi Didukung Budiman, Perbincangan Tragedi 1998 Makin Kencang

Keputusan mantan politikus PDI-P, Budiman Sudjatmiko untuk mendukung Prabowo Subianto sebagai bakal calon presiden berpotensi blunder atau merugikan.

Pengamat politik Yunarto Wijaya menilai keputusan tersebut menjadi panggung politik baru bagi Budiman yang tak lagi bersinar di PDIP setelah kalah sebagai caleg pada Pemilu 2019. Sementara bagi Prabowo, pembentukan Prabu (Prabowo-Budiman) justru merugikan.

“Kalau saya pribadi melihatnya ini blunder untuk Pak Prabowo kalau kita baca monitoring dari pemberitaan terkait Budiman Sudjatmiko, hanya Budiman yang untung, Prabowo yang rugi,” kata Yunarto, Minggu (27/8/2023).

Dari keputusannya itu, Budiman disebut mendapatkan panggung atau perhatian publik dengan pembahasan tentang kasus “98”, sementara peran Prabowo juga terangkat kembali, termasuk fakta pemberhentiannya dari TNI karena dinilai bersalah oleh Dewan Kehormatan Kehormatan (DKP) ABRI.

Dalam berbagai forum, Budiman terlihat kerap menyampaikan kembali tentang kasus tersebut yang berkaitan dengan seputar penculikan aktivis dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

“Budiman mendapatkan panggung tetapi pembicaraan mengenai kasus 98, penculikan aktivis, itu malah menjadi bunyi kembali. Jadi, kalau ditanya siapa yang mendapatkan narasi positif di sini saya kita tidak ada,” ujar Yunarto.

Di sisi lain, dia memperhatikan pengaruh Budiman di PDI-P juga mulai redup dan perannya makin tidak signifikan bagi partai meskipun telah menjadi anggota sejak lama.

Terlebih, setelah yang bersangkutan gagal menjadi anggota legislatif dalam Pemilihan Legislatif 2019 lalu, Budiman diduga mulai mencari “tempat” baru untuk mengangkat namanya lagi.

“Tetapi dalam konteks mendapatkan panggung politik, Budiman Sudjatmiko memang kita tahu sinarnya sudah redup di PDI Perjuangan karena pada tahun 2019 dia kalah untuk maju dalam Pileg, dan dia sekarang mendapatkan kendaraan baru dan panggung baru,” tutur Yunarto.

Ternyata, Budiman pun nekat memilih untuk merapat ke kubu Prabowo bahkan dengan mengorbankan keanggotaannya di PDI-P yang belakangan memecatnya.

Namun, Yunarto kembali menegaskan keputusan Prabowo untuk menerima Budiman justru malah merugikan Prabowo lantaran pembahasan tentang kasus yang menyudutkannya malah membuat publik kembali sadar.

“Di sisi lain, Pak Prabowo justru malah mendapatkan tone negatif karena perbincangan yang selama ini menjadi beban buat Pak Prabowo, yang membayang-bayangi selalu Prabowo Subianto naik turun terkait dengan 98 yang penculikan aktivis karena adanya isu Budiman Sujatmiko itu kembali naik,” katanya. (LAN)

 

Tim Kumparan
Foto : Nugroho Sejati/kumparan
Sumber : Kumparan.com

Elektabilitas Anies Rendah Efek Tingginya Kepuasan Kinerja Jokowi

Jakarta, IDN Times – Elektabilitas bakal calon presiden (bacapres) dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), Anies Baswedan, masih berada di posisi ketiga di bawah bacapres lain, Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo.

Peneliti Charta Politika, Shinta Shelvyra, menilai rendahnya elektabilitas Anies karena saat ini tingkat kepuasan responden terhadap pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo masih tinggi.

“Rasanya kalau saat ini tingkat kepuasan kepada Pak Jokowi masih tinggi, besar kemungkinan pemilih Pak Anies belum banyak. Tapi saya kalau menyatakan itu terlalu angkuh, terlalu dini juga saya bilang seperti itu,” ujar Shinta dalam acara #GenZMemilih bertajuk “Siapa Cawapres Potensial Anies?” yang tayang di kanal YouTube IDN Times, Rabu (19/7/2023).

1. Cawapres juga bukan satu-satunya kunci kemenangan Anies

Selain itu, cawapres yang akan dipilih Anies juga bukan satu-satunya kunci kemenangan di Pilpres 2024. Menurutnya, kunci kemenangan Anies saat ini belum dapat disimpulkan.

“Mungkin ada pengaruh cawapres, kita bisa berharap pemilihan cawapres Pak Anies bisa memengaruhi suara Pak Anies, meskipun saya tekankan penentuan cawapres bukan satu-satunya kunci kemenangan Pak Anies,” kata dia.

2. NasDem akui elektabilitas Anies sulit naik bila kepuasan terhadap pemerintahan Jokowi masih tinggi

Dalam kesempatan itu, Ketua DPW Partai NasDem Jawa Barat, Saan Mustopa, mengakui elektabilitas Anies sulit naik bila kepuasan responden terhadap pemerintahan Jokowi masih tinggi.

“Saya pahami itu tingkat kepuasan terhadap Pak Jokowi, itu hampir semua lembaga survei itu tinggi, bahkan menembus angka 80 persenan. Ketika tingkat kepuasannya tinggi, dan yang tidak puasnya sedikit, yang tidak puas ini tentu kalau menempatkan Pak Anies dan ini kan dipersepsikan, ini elektabiltasnya Anies turun,” kata Saan.

3. Elektabilitas Anies akan naik bila kepuasan responden terhadap Jokowi turun

Menurut Saan, elektabilitas Anies akan naik bila kepuasan responden terhadap Jokowi turun. Sebab, kata dia, Jokowi dan Anies saat ini dipersepsikan berseberangan.

“Kalau tingkat kepuasannya turun ke Pak Jokowi, pasti Pak Anies naik, ini kan masih panjang, pasti suatu ketika ada perubahan, dan Mas Anies mendapat momentum untuk naik,” kata dia.

Menurut Saan, saat ini belum ada satupun bacapres yang elektabilitasnya yang lebih dari 50 persen.

 

 

Muhammad Ilman Nafi’an
Editor : Rochmanudin
Foto : Dok IDN Times
Sumber : idntimes.com

Survei Charta Politika: Elektabilitas Ganjar Moncer dan Dianggap Bisa Teruskan Program Jokowi

TEMPO.CO, Jakarta – Elektabilitas Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo semakin jauh meninggalkan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan eks Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam survei terbaru yang digelar Charta Politika Indonesia. Dalam simulasi tiga nama di survei yang digelar pada 2-7 Mei 2023 itu, nama Ganjar memiliki elektabilitas 38,2 persen, Prabowo 31,1 persen, dan Anies 23,6 persen.

“Dari ketiga nama tersebut, terlihat adanya peningkatan elektabilitas pada nama Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto. Sementara Anies Baswedan terlihat mengalami kecenderungan menurun sebagaimana terlihat pada tren yang disajikan,” kata Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya dalam keterangannya, Senin, 15 Mei 2023.

Yunarto menjelaskan pada pengujian simulasi 3 nama, elektabilitas Ganjar Pranowo mengalami peningkatan setelah sebelumnya sempat mengalami penurunan pada periode April 2023 atau saat ramai isu Timnas Israel. Sedangkan Prabowo Subianto dan Anies Baswedan relatif mengalami penurunan.

Ganjar dianggap bisa teruskan program Jokowi

Menurut hasil survei, sebanyak 68 persen responden menilai Ganjar Pranowo sebagai tokoh yang paling mampu melanjutkan program-program Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Sedangkan 20,4 persen menjawab Prabowo Subianto dan hanya 8 persen menjawab Anies Baswedan.

Yunarto memaparkan para pemilih Jokowi – Ma’ruf pada Pilpres 2019 juga mayoritas atau 61 persen mendukung Ganjar dan 18 persen kepada Prabowo serta 14 persen kepada Anies. Sementara pemilih Prabowo-Sandi di Pilpres 2019 mayoritas atau 53 persen mendukung Prabowo, 34 persen Anies, dan 8 persen Ganjar Pranowo.

Survei yang dilakukan Charta Politika Indonesia ini digelar dengan metode wawancara wawancara tatap muka dk seluruh wilayah Indonesia. Metode sampling yang digunakan adalah multistage random sampling dengan jumlah sampel mencapai 1.220 Responden.

Kriteria responden dalam survei ini adalah masyarakat yang sudah berusia 17 tahun atau sudah memenuhi syarat pemilih. Quality control survei mencapai 20 peraenu dari total sampel dengan Margin of Error 2.82 persen.

Reporter : M Julnis Firmansyah
Editor : Eko Ari Wibowo
Foto : tempo.co
Sumber : nasional.tempo.co